Jakarta, 2006
Alma
“Gue mesti gimana dong Bim? 6 bulan lagi gue mau
nikah. Dan Agung tiba-tiba datang. bilang kalau dia nyesel. Gila kali ya???”
aku berteriak histeris. Bima, sahabatku sejak SMA menepuk-nepuk pelan bahuku.
“Sabar Al.. Sabar. Jangan teriak-teriak ah. Lo
nggak malu apa diliatin orang? Rileks Al… Take a deep breath..” Aku cemberut
menatap Bima.
“Gimana gue bisa rileks?? Lo lupa apa cerita gue
ama Agung?” aku masih histeris tapi berusaha menahan suaraku agar tidak
berteriak.
“Ya nggak mungkinlah gue lupa, Al. Selama 9 taon
gue kenal sama elo, nama cowok yang keluar dari mulut lo kan cuma Agung. Hampir
setiap hari gue musti pasang kuping gue Cuma buat dengerin lo cerita, si Agung
beginilah, si Agung begitulah.” Bima mengangkat bahu malas. Cuek. Tampak tidak
terlalu perduli dengan masalahku kali ini. Aku makin kesel. Aku tinju perut
buncit Bima.
“Ouch! Apaan sih Al? Sakit tau??! Kasar..”
gerutu Bima sambil mengelus-ngelus perutnya. Pemandangan yang biasanya pasti
membuatku tertawa ngakak, kalau saja aku nggak pusing dengan masalahku sendiri.
Bimantara Satya Hutomo, si Teddy Bear, dengan tinggi 185 cm dan berat 135 kg.
Putih, berhidung mancung, berambut ikal rapi, dan perut yang menonjol. Sahabat
kesayanganku selama 9 tahun ini, sedang melakukan atraksi kebanggaannya.
Beruang putih sirkus yang misuh-misuh sambil memegangi perutnya. Aku berusaha
menyembunyikan tawa geliku.
“Lo kok cuek banget sih? Gue lagi stress kayak
gini juga. Sahabat macam apa lo??” aku mengeluarkan jurus mautku. Pasang
tampang sedih dan berdiri dari kursiku.
“Gue pulang aja deh..” kataku sambil berlagak
jalan kearah pintu kafe. Dan benar saja, tidak sampai 2 detik kemudian Bima
berteriak memanggilku,
“Alma! Yaelaaah..pake ngambek sih. Dasar calon
manten sensi lo.” Cela Bima, meski tak urung dia berdiri dan menarikku duduk
kembali sambil mengacak sayang rambutku.
“Udah, duduk. Nggak usah pake manyun. Gih
cerita. I’m all yours…” kata Bima
lembut. Aku tersenyum dalam hati. Bima emang orang yang paling ngertiin aku
deh. Hihihihi…
***
Bima
Almaira Nareswari Sumitro. Sahabat terdekatku
sejak aku kelas 1 SMA. Satu-satunya perempuan yang deket denganku tanpa ada
embel-embel cinta-cintaan. Gadis mungil dengan tinggi 150cm yang selalu
menyebut dirinya imut, dengan rambut hitam sebahu, kulit putih dengan rona
kemerahan di pipinya akibat udara yang panas menyengat, barisan gigi yang putih
rapi akibat behel yang baru dilepas 2 bulan lalu, dan bibir mungil merah jambu
yang anehnya bisa tahan ngoceh 3 jam nonstop. Gadis yang 6 bulan lagi akan
melepas masa lajangnya dengan seseorang yang sudah dipacarinya selama 4 tahun
terakhir ini, yang notabene adalah temanku juga. Dan gadis yang sama itu, saat
ini sedang duduk dihadapanku di Kafe Starlight ini, sambil memasang aksi
ngambeknya, karana tadi sempet aku cuekin saat dia berkeluh kesah.
“Apa Al? Katanya lo mau cerita. Malah diem..”
Alma menatapku sendu. Kemudian menarik napas dan
menghembuskannya pelan.
“Menurut lo, cinta gue itu, lebih gede ke siapa?
Agung atau Tama?” pertanyaan Alma ini membuatku terpaku. Lalu mukaku sengaja
aku bikin sekaget mungkin.
“Haaah?? Again
Al?? Pertanyaan itu lagi? Lo udah kehabisan stok pertanyaan apa?” sindirku. Alma hanya menggeleng tak sabar.
Tidak perduli akan sindiranku. Dia malah memajukan badannya hingga tangannya
bisa menyentuh tanganku. Meremas, lebih tepatnya.
“Bim, gue serius nih. Gue 6 bulan lagi nikah
sama Tama, dan cuma karna bbm dari Agung yang bilang, ‘Al, kamu serius mau nikah? Kamu yakin dia pasangan yang tepat buat kamu?
Bukan orang lain? Ng.. aku, misalnya?’ gue jadi menggalau berat kayak gini.
Padahal lo kan tau banget Bim, kalau gue dengan susah payah akhirnya bisa
ngerelain Agung. Karna gue tau kalau gue dan dia tuh udah nggak punya masa
depan bersama. Makanya gue mutusin buat nerima Tama. Lo tau itu kan, Bim?”
remasan tangan Alma semakin kencang. Aku heran. Bagaimana badan sekecil itu
punya tenaga sebesar ini. Karna aku aja yang berbadan jauh lebih besar dari
Alma dan yaaaah, tertutup lemak tebal ini, masih sering meringis kesakitan
menghadapi setiap pukulan, cubitan maupun remasan Alma. Bagaimana dengan Tama?
Atau Agung? Yang jelas-jelas badannya lebih kurus dari aku. Dan mereka masih
saja berebut cintanya Alma?? Ckckckck… aku heran. Atau jangan-jangan mereka
masokist?
Sepertinya senyumanku atas pikiranku barusan
terlihat oleh Alma. Dengan gemas dicubitnya pipi bulatku ini. Membuatku kembali
ke alam nyata.
“Buset deh Al. Lo tuh hobi amat sih nyiksa gue?”
gerutuku.
“Salah lo sendiri! Gue lagi ngomong serius, lo
malah cengar cengir. Mikirin apa sih lo??? Ngeliatin apaan?” Alma mengira aku
sedang menatap sesuatu di belakangnya. Buru-buru ditolehkan kepalanya ke
belakang. Dan ternyata, tepat setelah 3 kursi dan meja kosong di belakangnya,
duduk seorang perempuan dengan paras paling cantik yang pernah aku lihat. Dan
sialnya lagi, Alma benar-benar mengira aku sedang memperhatikan perempuan itu.
“Iiiiih, centil banget deh lo Bim! Gue lagi
sedih, lagi curhat, elo malah ngeliatin cewek laen. Mentang-mentang cewek itu
sendirian…” Alma mulai manyun lagi. Aaarrgh..aku menggaruk kepalaku yang tidak
gatal. Gemas.
“Bukaaan Al. Gue ngak ngeliat cewek itu. Udah
ah. Buruan cerita!” Alma masih menatapku curiga.
“Beneran? Padahal cantik loh…” Alma malah
ngegodain aku. Langsung saja aku jitak pelan kepalanya.
“Dih, ngambek. Hehe.. Hmmm… Yaudah. Jadi,
menurut lo, Agung atau Tama yang lebih gue cintai?”
“Phhhewww… Lo itu aneh banget ya Al? pertanyaan
gitu kok ditujuin ke gue? Mestinya ke hati elo sendiri dong!”
“Yeee… kalo gue tau jawabannya mana mungkin gue
ngerecokin elo.”
“Lo masih ngarepin Agung?” tanyaku sambil
meneliti wajah Alma.
Alma menggeleng pelan. Lalu mengangguk. Lalu
menggeleng lagi.
“Aaaaaagggghhhhh!!! Gak tau ah! Pusing gue!
Kenapa sih udah mau nikah ada aja kejadian kayak gini?? Kenapa si Agung nggak
nanya kayak gitu sepuluh taon yang lalu?? Atau nggak, at least 1 taon lalu
deh.!” Alma membenamkan kepalanya di atas meja dan berteriak histeris.
“Ssssttt!! Al, orang pada nengok semua tuh!”
panik, aku lalu menoleh ke orang-orang sekelilingku yang sedang memperhatikan
kami dan meminta maaf melalui gerakan tangan. Dan gadis itu, gadis cantik yang
duduk sendirian itu, juga sedang memperhatikan kami. Aku hanya bisa tersenyum
lemah kepadanya, yang langsung dibalas dengan senum pengertian. Atau setidaknya
begitu menurutku.
“Al, hp lo bunyi tuh,” sambil mengambil hp Alma
yang berbunyi di atas meja. Keningku berkerut melihat nama yang tertera disana.
Agung? Dasar tukang bikin masalah nih.
Alma tetap diam. Tidak memberikan reaksi.
“Al? Agung nelpon nih…” kataku sambil
mengguncang bahunya perlahan. Sesaat kurasakan dia menegang.
“Gue nggak mau nerima telpon dari siapapun, Bim.
Lo aja yang angkat. Terserah alasannya apa. Abis itu matiin aja hp gue,” jawab
Alma lemah tanpa mengangkat kepalanya dari meja. Aku menghela napas pelan.
“Ya? Gue Bima, Gung. Alma lagi ada presentasi.
Hpnya ketinggalan di mobil gue…. Mungkin ntar malem gue baru ketemu dia…. Oke.
Ntar gue sampein… iya.. sip. Bye,” kataku sambil menutup telpon dari Agung.
Aku menghembuskan napas lagi. Kali ini lebih
keras sambil menyenderkan badan ke sandaran kursi. Aku lihat Alma yang masih
membenamkan kepalanya di atas meja. Sesekali bahunya terlihat agak berguncang.
Nangis lagi, deh.
Agung-Almaira-Tama. Cinta segitiga? Halaaaah…
nyusahin aja deh. Bikin pusing kepala. Mendingan aku makan aja deh. Pikirku
sambil langsung memanggil pelayan, dan memesan waffle coklat favoritku dan
Alma. Tanpa aku sadari ada sepasang mata bening yang sedang memperhatikan aku.
***
(to be continued...)
*This is a prologue from my upcoming novel. Belum ada judul sih. Yaaah.. doain aja yah biar kali ini malesnya ga kelewatan buat nyelesain proyek ini... ^^
No comments:
Post a Comment