Tuesday, February 01, 2011

10

-Semacam Cerpen Curcol dengan Bumbu2 yang Mempermanis Kenyataan yang Pahit-


Cc:
Subject: My First and Last Love letter for you

Attach files ; Undangan Pernikahan


Dear B,

Tahun ini, genap 10 tahun lamanya sejak pertemuan pertama kita. Aku sih yakin kamu pasti nggak bakalan inget. I might’ve just forgot as well if the person wasn’t you.
You had me at Hello….” kata Dorothy dalam film Jerry Maguire.
Well, you did that too.
Iya, saat kamu pertama kali menyapa aku, di lapangan olahraga SMU kita. Kamu dengan pakaian olahraga hitam putihmu itu, datang mendekat kearahku yang sedang terkagum-kagum menyaksikan kelihaianmu memasukkan bola basket itu ke dalam ringnya.
Kamu berjalan pelan ke arahku. Sumpah, saat itu aku sudah GR setengah mampus. Aku bener-bener mikir kalo kamu pengen kenalan sama aku. Hahahaha…
Dan ternyata, kamu memang menyapa. Tapi bukan aku. Kamu menyapa salah satu dari teman-temanku yang sedang duduk bersamaku. Kamu menyapanya, yang baru saja, 3 menit sebelumnya menjadi tempatku bertanya tentang sosokmu. Karna kalian teman satu eskul di Paskibra kan?
Kebetulan? Mungkin. Bisa saja itu memang kebetulan bahwa kamu kenal dengan sahabat baruku itu. Bisa saja itu kebetulan bahwa, saat itu aku tidak memilih untuk makan di kantin, tapi lebih memilih menemani salah satu dari sahabat baruku, yang ingin melihat aksi pacarnya di lapangan (iya, kamu satu kelas dengan pacar sahabat baruku itu), sambil duduk dibawah pohon di pinggir lapangan olahraga sekolah kita. Dan bisa saja itu hanya sekedar kebetulan, bahwa bola basket yang baru saja kamu lempar -dan masuk- ke dalam ringnya itu, lalu menggelinding ke arahku dan berhenti persis di sebelah kaki kananku, satu menit setelah aku berhasil mengetahui namamu.
Kalau meminjam kalimat Raditya Dika, berarti semua kebetulan-kebetulan itu adalah kerja dari semesta yang ingin mempertemukan dua orang, entah untuk dipersatukan dikemudian hari, atau hanya sekedar sebuah pertemuan biasa.
“Hei Mel,” sapamu ke sahabat baruku.
Aku hanya mampu terdiam saat mendengar suaramu. Terpesona, lebih tepatnya.  Selama ini, ga sering aku nemuin orang yang enak dilihat sekaligus enak didengar. Ngerti?
Gini, kalo kita dengerin radio, rata-rata penyiarnya adalah orang yang memiliki suara yang enak di dengar. Renyah, lembut, merdu, ngebass, etc,etc..
Tapi, belom tentu penampilannya seenak suaranya. No offense yaaah.. bukan berarti penyiar radio ga oke. But sometimes, setelah mendengarkan suara semerdu itu, aku jadi berharap lebih. Hmm.. manusiawi kan yah?
Ok, enough with that radio thing.
Kamu, hmmm... nggak susah menjelaskan bagaimana perawakanmu. Kamu tinggi, putih, tidak gendut ataupun kurus, rambutmu hitam pendek-hingga terkesan acak-acakan, barisan gigimu rapi, bola matamu berwarna kecoklatan, dan hey, one thing that I love most bout your face, kamu punya lesung pipit. Di kedua pipimu.
I really envy you, you know.. Kamu ga tau kan, betapa kepengennya aku punya lesung pipit. Sampe aku sempat berangan-angan, nanti kalo aku punya anak, begitu lahir pipinya akan aku tusuk-tusuk dengan cabai, pelan-pelan tentunya. Itu kata orang-orang tua jaman dulu sih. Tapi siapa tau nanti kalau besar anaknya jadi beneran punya lesung pipit.
Dan kamu, kamu bahkan punya dua. Tapi yaa sudahlaaaaah… it really looks good on you, though. Terutama saat kamu tersenyum dan tertawa.
Dan suaramu, apa yah sebutannya??
Merdu? Renyah? Hmmmm… I don’t even know which word should I choose to explain bout your voice.
Yang jelas, sejak saat itu, cuma suara milikmulah yang selalu aku harapkan untuk menjadi pengantar tidurku. Dan kamu nggak perlu menyanyikan sebuah lagu untukku. Karna cukup dengan ucapan “Met tidur” atau “Sweet Dream” darimu, sudah bisa membuat aku terlena dan terlelap.
Tak butuh waktu lama bagiku, untuk jatuh dalam semua pesonamu. Segera setelah kamu menoleh ke arahku, tersenyum, menyapaku lembut, dan jongkok di sampingku, well, you got me.
Setelah pertemuan pertama kita itu, kamu pasti tau entah sudah berapa kali aku mempermalukan diriku sendiri untukmu. Hahahahaha… lebay sih. Dan aku cuma bisa geleng-geleng kepala mengingat betapa agresifnya aku dulu, dalam berjuang demi ngedapetin perhatian kamu.
But hey, I did it!!
Kamu bersedia membagi waktumu untukku. Kamu mau tersenyum untukku saat aku bahagia. Dan kamu bahkan rela meminjamkan dadamu untuk tempatku menumpahkan semua air mataku.
Kalau mengingat itu semua, aku merasa semua usahaku nggak sia-sia.
Meskipun aku harus menanggung malu karna keisengan sahabat-sahabatku, yang menuliskan ucapan selamat hari Valentine di Mading sekolah untukmu, dengan memakai namaku.
Meskipun aku harus menerima pelototan dari senior cewek yang kebetulan naksir sama kamu, dan nggak terima melihat kamu dengan santainya menerima coklat dariku tanpa menerima coklat pemberiannya, di depan matanya.
Meskipun aku harus bersusah payah datang ke sekolah pada saat demamku 390 C, hanya untuk memberikanmu kado ulang tahun yang sudah aku persiapkan jauh sebelumnya, dan berakhir dengan aku yang pingsan dan terpaksa pulang lebih cepat.
Meskipun aku hanya bisa dengan diam-diam menyebutmu sayang.
Yayayayaya… kita dulu backstreet. Aku sendiri juga masih nggak ngerti. Kenapa dulu aku menyimpan rapat-rapat tentang hubungan kita. Hmmm… Tiga bulan kebersamaan kita.
Aku suka angka tiga. Aku lahir pada tanggal tiga. Sunnah Rasul juga tiga, katanya.
Tapi aku benci ketika mengetahui bahwa angka itulah yang dipakai untuk menandai kebersamaan kita. Kenapa hanya sekedar tiga? Dan kalau memang harus dimulai dengan angka tiga, kenapa tidak 30? Atau 300? Atau 3000?
Kenapa hanya 3??
Dan hanya dalam hitungan bulan. Bukan tahun, bukan dekade, dan bukan pula abad.
3 bulan. Kamu hanya mengijinkanku untuk masuk ke dalam hidupmu dalam waktu yang sesingkat itu.
Well, aku, yang memutuskan untuk pergi. Don’t get me wrong. Bukannya aku nggak bahagia. Aku bahagia. Sangat.
Aku hanya telat menyadari satu hal.
You didn’t love me.
Aku terlambat menyadari adanya konspirasi antara sahabatku-pacarnya-dan kamu. Iya, kamu. Jujur, kadang-kadang aku nyesel loh menjadi orang yang terlalu peka.
Karna aku langsung bisa menyadari bahwa waktu 3 bulan yang kamu sediakan untukku, hanyalah bagian dari kebaikan hatimu. Seandainya aku nggak sadar, mungkin setidaknya aku bisa merubah angka 3 itu menjadi setidaknya, yaaaah 4 atau 5 mungkin? Hehehhee…
Tapi tetap saja, harga diriku tidak mengijinkannya. Aku nggak bisa terima kalau ternyata akulah orang yang membuat hidupmu susah –kalau memang mencintaiku susah untukmu-.
Karna aku adalah salah satu dari banyaknya orang yang ingin kamu berbahagia.
Jadi aku memilih pergi. Dari hubungan yang memiliki ikatan itu, tapi tidak dari hidupmu.  Boleh kan aku sedikit egois? Bagaimanapun juga, aku mencintai diriku sendiri. Dan aku tahu, saat itu, aku sangat butuh kehadiranmu.  Keberadaanmu.
Aku, kamu.. kita berhasil melalui hari-hari kita dengan baik kan?
Aku tidak pernah membuatmu susah kan? Malah seingatku, kamu yang sering membuatku menangis. Hahahaa.. jangan kaget. Kamu mungkin tidak tahu atau hanya pura-pura tidak tahu. Entahlah. Tapi sungguh, mencintaimu itu melelahkan.
Aku bertahan bukan karena aku tegar. Aku justru bertahan, karna aku lemah. Disaat hidupku berada di bawah roda kehidupan, dan semua kegilaan menerpaku, keberadaanmulah satu-satunya hal yang bisa membuatku tetap waras. Aku butuh kamu. Untuk diriku sendiri. Dan dengan egoisnya, aku tetap bertahan mencintaimu.
Toh kamu nggak pernah protes. Kalau boleh jujur, aku tahu kok, terkadang kamu merasa bersyukur dengan adanya aku. Karna aku bisa menjalankan peran sebagai seorang teman yang baik dengan sempurna. Mau bukti? Baiklah…
Kamu pasti nggak akan pernah lupa, hari Rabu itu, disaat langit sedang berwarna kelam, sekelam warna yang bisa mewarnai langit di pagi hari.
Kamu, datang ke dalam ruanganku. Iya, saat itu aku sedang bertugas untuk menyiapkan bahan siaran untuk nanti siang. Kamu inget kan kalo aku penyiar radio sekolah?
Well, kamu datang. tersenyum padaku seperti biasa. Menyapaku seperti biasa. Salahku yang tidak memperhatikan dirimu seutuhnya. Aku lalai mengetahui ada yang aneh dengan senyumanmu di pagi itu. Hanya itu. Dan kamu berlalu dari hadapanku. Temanmu yang datang beberapa saat setelahmu menitipkan sesuatu padaku. Katanya itu pesan untukmu. Dan aku, yang tidak pernah bertugas di hari Rabu siang, tak pernah tau apa isi amplop yang temanmu berikan itu, sampai aku mendengarnya sendiri pada siang harinya.
Pupus. Kamu mendapat kiriman lagu itu. Untukmu, dan untuk seorang perempuan. Yang aku tahu telah menolakmu, dan memilih laki-laki lain. Saat itu aku hanya bisa berlari. Aku nggak bisa memikirkan hal lain kecuali kamu. Aku harus melihat kamu. Just to make sure that you were okay.
Dan disitulah kamu. Dilorong depan kelasmu. Kamu hanya berdiri. Diam. Bersandar di dinding. Kamu menoleh begitu mendengar langkahku. Tersenyum padaku.  Diam disaat aku hanya bisa terdiam melihatmu. Dan akhirnya kamulah yang memecah kesunyian diantara kita, yang hanya diiringi lagu Pupus itu.
I’m okay..’” katamu. Dan aku hanya bisa mengangguk. Tanpa ada kata-kata terucap.
Aku ikut berdiri disampingmu. Agak jauh darimu. Aku tidak ingin mengganggumu kesendirianmu. Cukup kalau kamu tau bahwa aku ada.
Dan aku juga yang ada disampingmu, saat kamu dengan –well, dulu aku mengataimu bodoh- beraninya mendatangi pacar dari perempuan yang menolakmu itu.
Kamu memberinya ucapan selamat. Hhhhhh…. kamu pasti nggak tau kan betapa keras usahaku menahan tangis saat melihatmu melakukan hal itu? I really thought that it was sweet yet stupid thing that you did for someone that you love and broke your heart.
Kenapa bukan aku yang kamu cintai sebegitu dalam?
Kenapa bukan aku?
Betapa aku selalu berharap bahwa akulah perempuan itu.
Aku yang selalu ada untuk kamu. Aku, orang yang amat sangat cinta sama kamu.
Pertanyaan itu selalu ingin aku ucapkan kepadamu. Tapi sayangnya, nyaliku tak cukup besar.
Apa aku menyesal tidak bertanya padamu saat itu?
Entahlah. Mungkin iya. Mungkin juga tidak. Aku takut keadaan berubah. Aku lebih memilih berada disampingmu sebagai teman daripada harus kehilanganmu, karna keegoisanku.
Saat itu, setidaknya itulah yang aku pikirkan.
Sayangnya, hanya 4 bulan setelah itu, aku akhirnya merasakan juga bagaimana rasanya benar-benar kehilangan dirimu.
Iya, aku. Kehilangan. Kamu.
Kamu menjauh. Kamu menghindar. Kamu mengacuhkan.
Semua hal kamu lakukan untuk memutuskan hubungan kita. Dan itu semua hanya karna perempuan itu. Yup, the girl that already broke your heart. Setelah dia putus, kamu yang masih jelas sangat mencintainya kembali berjuang. Kamu ingat kan, aku bahkan ikut mendukungmu saat itu. Aku tulus mendukungmu. Hanya untuk tahu bahwa kamu akan membuangku. Hahahahahaha… ironis banget yah?? Aku yang hanya bisa memiliki hubungan sebagai teman, dengan kamu. Hanya hal itu saja, dan ternyata masih tidak bisa aku miliki.
Lantas aku bisa apa?
Aku hanya bisa menangis. Sambil tetap mendoakan yang terbaik bagimu.
Dan meskipun tahun terakhir di SMU aku lewati tanpa kamu sebagai temanku lagi –meski hanya sekedar temanku-, aku sudah cukup puas hanya dengan memandangi wajah bahagiamu.
Kamu bahagia. Dan aku bahagia melihatmu bahagia.
Sudah cukup bagiku.
Waktu terus berlalu. Aku sudah berulang kali mencoba menutupi kekosongan di hatiku dengan cinta yang lain. Namun entah kenapa, sosokmu terlalu kuat  keberadaannya di dalam benakku, dan hatiku.
Aku kadang-kadang merasa seperti stalker. Yang terobsesi tentang segala hal akan kamu. Bahkan setelah bertahun-tahun, tak pernah sedikitpun kabar tentangmu yang aku lewati. Bagaimana kabar kamu. Kuliah kamu. Kehidupan cintamu. Aku bahkan sempat menangis begitu mendengar kabar bahwa kamu putus dengan perempuan itu. Masih sebesar itu rasa yang aku simpan untuk kamu, B.
Kamu pasti nggak tau kan, betapa senangnya aku begitu tau bahwa kita ternyata berada dalam kampus yang sama, meskipun berlainan gedung. Kamu juga pasti nggak tau, betapa seringnya aku mencari alasan untuk bisa sekedar mampir ke gedung fakultasmu untuk hanya sekedar bisa melihat sosokmu. Meskipun aku seringkali harus kecewa.
Tapi, saat aku berhasil melihatmu, meskipun hanya sekilas, meskipun hanya dari jauh, meskipun saat itu kamu berada diantara kerumunan orang banyak, jika aku berhasil melihatmu, maka mimpiku selama beberapa hari kedepannya adalah mimpi terindahku tentang kamu.
Entah berapa lama waktu yang kuhabiskan dengan cara seperti itu. Berbulan-bulan, rasanya. Entahlah. Sampai akhirnya, aku sudah terlalu disibukkan dengan kegiatanku sendiri. Dan kelelahan yang mendalam akan perasaan yang aku pendam ini.
Tapi, apa kamu tau, menurutku terlalu banyak kebetulan lain di dalam hubungan kita.
Kebetulan, bahwa aku tiba-tiba bisa berteman dengan anak-anak dari fakultasmu dan akhirnya aku bisa tahu tentang keadaanmu.
Kebetulan, bahwa ternyata, saat kamu mengikuti acara Abang None itu, temanku juga mengikuti acara yang sama. Dan menurutku, suatu kebetulan yang luar biasa, setelah hampir 3 tahun kita tidak berdiri berhadapan, face-to-face, kita tiba-tiba dipertemukan lagi oleh semesta, di lobby JHCC, seusai acara final Abang None.
Kamu tau? Sebenarnya aku sudah melihat sosokmu jauh sebelum itu. Aku ada di antara ribuan penonton yang menyaksikanmu di atas panggung. Aku adalah salah satu dari sekian banyaknya orang yang memanggil namamu. Aku adalah pendukungmu yang paling setia. Walaupun jujur, teman yang seharusnya aku dukung adalah lawanmu di acara itu. Kamu mau tau nggak, bahwa gara-gara teriakanku yang penuh dukungan kearahmu, beberapa temanku melotot ke arahku. Sayangnya, aku nggak perduli. Aku adalah pendukungmu. Yang mungkin yang paling setia yang pernah kamu punya. Dari dulu selalu seperti itu.
Dan ketika kita, aku dan kamu, kembali bertemu secara ‘kebetulan’ di lobby, aku hampir saja menangis. Karna jujur, aku sudah akan menyerah. Dukungan yang aku berikan dengan segenap hatiku di dalam ruangan tadi, adalah dukungan yang sudah aku tetapkan sebagai ucapan perpisahanku dengan kamu. Aku sama sekali nggak berharap bisa bertemu denganmu lagi setelah itu.
Tapi pertemuan kita merubah segalanya. Aku jatuh lagi. Jatuh ke dalam pesonamu.
Meskipun kamu hanya sekedar menatapku hangat dari binar kecoklatan dimatamu.
Meskipun kamu hanya sekedar menyapaku dengan suara merdumu dan senyuman dengan lesung pipit yang sangat aku sukai itu.
Meskipun kamu hanya sekedar menggenggam tanganku yang dingin dan basah karna gugup.
Meskipun kamu hanya sekedar menyapukan bibirmu dengan ringan di kedua pipiku.
Meskipun kamu hanya sekedar memberikan pelukan layaknya seorang sahabat lama yang bertemu lagi.
Sedetik. Hanya dalam waktu sesingkat itulah kamu merubah semuanya. Menjungkirbalikkan lagi duniaku.
Aku jatuh. Kali ini lebih dalam.
Apa kamu tahu, betapa marahnya aku saat itu??
Iya, aku marah. Pada diriku sendiri, pada kamu, dan pada semesta yang selalu saja bekerja seenaknya, mempertemukan aku dan kamu, justru di saat aku ingin melepasmu.
Nggak sedikit waktu yang aku habiskan untuk memutuskan bahwa aku harus menghentikan semua perasaanku, kegilaanku, dan obsesiku ke kamu.
Aku sudah memutuskan untuk menerima cinta yang lain, B.
Karna aku ingin berbahagia.
Dan kamu datang lagi. Begitu saja. Kamu masuk lagi kedalam hidupku.
Membuatku hancur lebur lagi.
Dan kamu tau, ternyata kamu tetaplah kamu.
Kamu yang tidak pernah tau bahwa dirimu hampir memporak-porandakan kehidupanku lagi. Kamu yang memutuskan untuk meninggalkanku. Lagi.
Nggak. Kali ini aku sama sekali nggak menyalahkan kamu untuk itu. Aku menyalahkan diriku sendiri. Aku, orang yang menanam terlalu banyak harapan ke kamu. Yang membuat ekspetasi terlalu tinggi. Hingga akhirnya aku jugalah yang harus menangis sendirian. Menderita.
Aku yang salah kali ini, B. Karna kamu tetaplah kamu. Dari dulu kamu selalu seperti itu. Aku yang salah sudah berharap bahwa kamu akan berubah dan melihat ke arahku. Hanya aku.
Cukup lama aku menghabiskan waktu untuk bisa berdamai dengan hati ini. Memaafkan diri sendiri atas semua tuntutan yang aku ciptakan sendiri.
Aku berusaha, B. Aku berusaha sebaik yang aku bisa untuk berbahagia. Meski harus tanpa kamu.
Dan aku berhasil. Aku bisa berbahagia. Dengan kehidupan baruku sendiri. Meski mungkin tidak sepenuhnya bisa kuhilangkan sosokmu dari dalam kehidupanku.
Teman. Aku percaya seperti itulah hubungan kita sesudahnya. Belum pernah lagi kita bertemu setelah kejadian itu. Hanya telepon, sms, bbm dan email-lah alat komunikasi di antara kita.
Aku sudah cukup senang kok, saat kita bisa berbicara dengan wajar di telepon. Saat kamu mengucapkan selamat tahun baru lewat bbm. Dan apa kamu tahu, aku sempat sangat terkejut waktu membaca sms dari dirimu di hari lebaran.
‘Met Lebaran. Maaf lahir batin ya. Maafin semua kasalahan-kesalahan aku ya Ga.
Every mistakes I’ve made that caused you pain.
Gosh, you won’t even know how long I’ve waited to tell you this , but I am truly sorry.
I really am.
B’
Singkat. Padat. Jelas.
Kamu minta maaf, B. I mean, like really really sorry. Meskipun butuh waktu yang lama untukmu mengatakannya.
I feel relieved. Aku sudah berbahagia. Dan kamu melengkapi kebahagiaanku.
B, mungkin kamu kaget saat membaca email ini. Email yang mungkin nggak pernah kamu harapkan sama sekali.
Hanya kali ini kok. Aku ingin menuntaskan semua perasaanku ke kamu. Aku ingin mengungkapkan semua perasaan yang selama ini aku simpan dan nggak pernah sempat aku utarakan. Karna aku ingin bisa melihatmu dengan cara yang wajar setelah semua ini selesai.
Dan lagi, ini Februari, B. Bulan milikmu. Bulan yang kamu suka. Bulan dimana semua cerita tentang kita dimulai. Bulan penuh cinta yang pernah kita lewati sama-sama.
Kamu nggak keberatan kan kalau aku menambahkan satu kenangan tentang diriku di dalam bulan milikmu ini?
Aku akan menikah, B.
Dengan orang yang sangat mencintaiku.
Dia memang bukan kamu.
Dia mungkin nggak bisa bikin duniaku porak-poranda hanya dengan satu kecupan ringan, seperti yang pernah kamu lakukan dulu. 
Dia juga mungkin nggak punya suara semerdu kamu, ataupun lesung pipit yang menghiasi senyumannya.
Dia hanyalah dia, B.
Dia yang ada untukku, disaat aku membutuhkannya. Hal yang tidak pernah kamu lakukan untukku.
Dia, yang mau melakukan apa saja untuk membuatku bahagia. Sangat berlawanan dengan kamu kan, B?
Dan dia, yang meskipun tidak punya lesung pipit –sesuatu dari dirimu yang akan selalu aku rindukan, B- tapi dia punya senyum yang hanya tertuju lurus ke arahku.
Aku merasaaa… nyaman. Dengan dia, hidupku lebih terasa tenang. Tidak ada lagi drama histeria seperti saat aku merasa begitu cinta kepadamu. Dulu.
Dan aku bisa lebih menghargai diriku sendiri, saat ini. Aku sayang sama diriku sendiri, B.
Dan untuk itu, aku memilih dia.
Kamu adalah seseorang yang aku cinta, B.
Orang yang pernah aku berikan seluruh hatiku.
Orang yang bisa bikin aku menghabiskan waktu sebegitu panjangnya hanya untuk menanti.
Orang yang mungkin akan terus aku cintai.
Yang akan selalu ada di dalam hati dan pikiranku. Mungkin juga mimpiku. Karna akhir-akhir ini, mimpiku hampir selalu dipenuhi tentang kamu, B. Lagi. (Ah, apakah akan selalu seperti ini, B?)
Kamu segalanya untukku, B.
Setidaknya, kamu pernah menjadi sosok orang itu, dalam waktu yang lama.
Tapi bukan aku yang kamu cintai. Bukan aku orang yang ingin kamu limpahi dengan kasih sayangmu.
It took me ten years, B.
Untuk sadar, dan rela. Aku akan melepaskanmu.
Hanya cukup mengingatku, B. Bahwa akan selalu ada tempat di sudut hatiku untuk kamu.
Karna bagaimanapun juga, 10 tahun hidupku ini, pernah begitu berwarna dengan keberadaanmu.
And thanks to you for that.
Serius, B. Terima kasih.
Karna dengan adanya kamu, aku tau bagaimana caranya mencintai seseorang dengan tulus.
Karna dengan rasa sakit yang kamu beri juga, aku jadi bisa menghargai perasaan orang lain untukku.
Tak pernah sekalipun aku merasa sia-sia sudah menghabiskan 10 tahun waktuku hanya untuk mencintai kamu, B.
Karna semua ingatan, rasa sakit dan bahagia yang pernah aku rasakan selama mencintai kamu, akan selalu menjadi kenangan manis yang aku simpan.
Karna pertemuan denganmulah, 10 tahun yang lalu di lapangan olahraga SMU kita, aku yang sekarang ini ada.
Aku bahagia, B.
Aku harap kamu juga selalu berbahagia.
Dengan siapapun pilihanmu kelak.


With love,

Perempuan yang pernah teramat sangat mencintai kamu


PS:  B, aku kirimkan juga undangan pernikahanku bersama email ini ya. Mungkin kamu bertanya, kenapa aku nggak mengirimkannya secara langsung ke rumahmu? Karna jujur, aku nggak berharap kamu datang ke pernikahanku, B.
Bukan, aku nggak benci sama kamu. Aku hanya nggak yakin aku sudah cukup kuat. Aku takut kalau ternyata aku masih selemah yang dulu.
Nggak pa-pa kan? Aku hanya ingin doa dari kamu, B. Sekedar ucapan selamat di dalam email-ku, pada hari pernikahanku. Aku hanya ingin itu. Am I asking too much?
Karna hanya melalui email, sms dan bbm-lah batas toleransi aku, B. Nanti, kalau aku sudah benar-benar kuat, kalau aku sudah imun terhadap semua pesonamu, aku yakin, semesta pasti akan mengatur kembali pertemuan kita.
Kita pasti akan bertemu lagi, B.
Selama kita masih hidup.


Message Sent
Back to inbox

1 comment:

imoet_d1 said...

There's a Hell, in every Hello..
be careful.. though it's a little too late to realize it now..
But there's something Good in every Goodbye..
So, do you think that i should be grateful, B??