Kamu bukan laki-laki romantis. Boro-boro ngebeliin aku bunga, ngomong “I Love You” aja cuma sekali. Itu juga karna kita berantem hebat dan aku minta putus dari kamu. Saat itulah, kamu, untuk pertama kalinya bilang kalo kamu cinta sama aku. Kalo kamu nggak pengen kehilangan aku. See?? Nggak romantis kan kamu?? Tapi…. Kamu suka hujan. Entahlah. Itu hanya pemikiran aku aja sih. Karna setiap kali hujan turun, kamu seringkali terdiam, memalingkan muka kearah jendela yang bisa memperlihatkan tetesan air hujan untukmu. Dan matamu, berubah menjadi sendu. Hmmm.. kamu nggak romantis, tapi kamu melankolis…
***
“Kar…kamu bengong lagi deh,” panggilku untuk yang ketiga kalinya. Dan kali ini, Karsa mendengar.
“Hah? Kamu ngomong apa?” aku merengut kesal.
“Huuuh..kamu itu ngeselin banget sih?Kenapa kamu selalu bengong mendadak sih kalo hujan turun??” tanyaku langsung tanpa basa-basi. Karsa mengerutkan alisnya. Bingung.
“Maksud kamu? Aku nggak ngerti..”
“Ya itu. Setiap kali hujan turun, kamu pasti langsung terdiam. Langsung melirik kearah jendela. Ngeliatin hujan. Kenapa sih? Segitu sukanya sama hujan ya? Ada kenangan manis saat hujan dulu??” aku nyerocos tanpa henti. Karsa yang tadinya bengong, sekarang menatapku sambil tersenyum geli.
“Hihihihi… Miranda…Miranda, kenapa kamu punya pikiran aneh gitu sih? Emangnya aku itu kamu? Yang moodnya berbanding lurus dengan perubahan cuaca. Coba kalo lagi cerah, kamu pasti ketawa-ketawa. Terus, kamu juga selalu mellow setiap kali mendung. Nah, emang aku gitu?” Karsa balik bertanya.
“Huuuuh.. Semua kata-kata aku pasti diputer-balikan..” aku tambah manyun. Karsa hanya tergelak dan mengelus rambutku pelan.
“Aku suka hujan, karna menurut aku, hujan itu membawa rezeki. Walau sekarang sih seringnya bawa bencana. Yaah, dulu sih mama sering ngajarin aku buat sekedar bersyukur begitu hujan datang. Karna hujan itu datangnya dari langit. Dan di langit itu ada Tuhan. Dan juga, segala sesuatu yang datang dari Tuhan, adalah yang terbaik untuk kita…” jelas Karsa. Aku hanya bisa termenung mendengarkan ucapannya.
“Mir..?” panggil Karsa pelan ketika aku tak bereaksi.
“Eh.. hmm..aku speechless.. Gak nyangka aja kamu punya pikiran kayak gitu. Kirain…” Karsa langsung memotong ucapanku.
“Apa? Kamu ngiranya aku diem kalo hujan karna aku punya kenangan sedih saat hujan? Kayak diputusin di bawah rintik hujan, gitu??” Karsa tertawa mendengar leluconnya sendiri. Aku hanya tertunduk malu.
“Uuugh.. udah ah. Gausa di bahas lagi tentang hujan. Aku kenyang nih. Abisin mie goreng aku dong..” aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Kudorong piring makanku kearah Karsa.
“Iiih, makanya tadi aku bilang, kalo kamu nggak suka mie goreng ya gausa mesen dong. Sayang kan…” Karsa menjitak kepalaku.
“Abisnyaaa..aku kan penasaran. Kenapa si kamu cinta banget ama mie goreng? Menu kamu nggak pernah berubah tiap kali kita makan disini..” kafe Starlight memang kafe favoritku dan Karsa. Karna di kafe inilah segala cerita cinta kami dimulai.
“Selera dong, Mir.. Orang kan beda-beda..” jawab Karsa sambil mulutnya mengunyah mie goreng kesukaannya.
“Ya ya ya ya… aku udah apal kata-kata kamu. Pasti abis itu kamu bakalan bilang, ‘lagian untuk cinta kan nggak butuh alasan. Justru kalo pake alasan, itu bukan cinta..’ iya kan??” aku menirukan kalimat Karsa dengan tepat dan membuatnya tersedak karna menahan tawa. Langsung kusodorkan gelasku kearahnya.
“Uhhuuuk.. hahahaha.. Kamu itu lucu banget si Mir???” Karsa mencubit pipiku dengan gemas. Aku langsung manyun dan menepis tangannya kasar. Huh, mentang-mentang dia 3 tahun lebih tua, aku selalu dianggapnya anak-anak.
Karsa sendiri tampak tidak perduli dan terus melanjutkan makannya. Menghabiskan porsi mie gorengku.
Aku, yang lalu sibuk dengan ipod dan BB-ku, tidak sadar sudah beberapa saat berlalu. Sampai Karsa menyentuh lenganku perlahan.
Aku mengangkat alis dan menatapnya, sambil melepaskan earphone dari telingaku.
“Ya? Kamu uda selesai makannya?”
Karsa mengangguk. Dan saat itulah aku sadar bahwa meja di depanku sudah bersih dari segala macam piring bekas makan dan gelas.
“Kamu udah mau pulang?” tanyaku lagi. Kali ini Karsa menggeleng.
“Kamu gak mau mesen dessert Mir? Biasanya kamu suka waffle coklat kan?”
“Iyah. Emang aku mau mesen. Hehehehe…” Karsa lalu berdiri.
“Yaudah. Aku pesenin deh, sekalian mu ke kamar mandi.”
Aku hanya mengangguk dan memasang kembali earphoneku. Dan lagi, aku tenggelam dalam keasyikanku sendiri sampai tidak menyadari kehadiran Joni, pelayan kafe yang awalnya menjadi cupid untukku dan Karsa.
“Hei Jon. Lo berdiri dari kapan disitu? Bukannya manggil…” kataku sambil nyengir nggak enak ngeliat Joni mulai manyun.
“Iiiih… gue udah manggil kaleeee. Tapi lo ajah yang gak denger. Huuuuuh… pegel nih cyiin!" Joni mengeluarkan bahasa gaulnya, lengkap dengan gaya melambainya, membuatku tergelak.
“Huuh, ketawa melulu. Udah ah, tuh wafflenya. Selamat menikmati. Oya, cyyiin.. Karsa itu cinta banget ya ama kamu.. beruntung banget deeeh kamu cyyiin…Jangan dilepas yaaaah…” Joni mengedipkan sebelah matanya padaku dan berlalu sambil bersiul-siul. Aku menatapnya bingung sesaat, tapi kemudian aku memutuskan untuk tidak memusingkan kata-kata Joni. Dia emang aneh sih.
Aku dengan santai melahap potongan-potongan waffleku, sampai Karsa datang dan duduk lagi didepanku.
“Lama amat sih? Kamu mau nggak?” tanyaku sambil bersiap menyuapkan potongan waffle ke dalam mulutnya. Karsa menggeleng.
“Kamu abisin aja semuanya. Nggak boleh ada sisa yaaa…” aku mengangguk. Menikmati waffleku. Karsa hanya menatapku. Aku meneliti wajahnya sebentar sebelum melanjutkan suapanku. Tatapannya cemas. Aku letakkan kembali garpuku.
“Kar, kamu kenapa? Muka kamu pucat loh..” aku menyentuh dahinya perlahan. Dingin. Karsa menepis pelan tanganku, sambil tersenyum.
“Aku nggak sakit kok. Gih, abisin waffle kamu. Es krimnya udah mulai cair tuh. Buruan dimakan…” Karsa mengalihkan perhatianku. Aku mengangkat bahu, dan melanjutkan kembali makanku. Karsa memang begitu. Kalau lagi ada masalah, dia akan diam sampai ngerasa tenang baru mau cerita. Jadi, ya tugasku hanya menemaninya dalam diam.
Aku terus makan sambil sesekali melirik kearahnya yang masih menatapku. Tajam. Tiba-tiba,
“Auuw… aduuh, apaan nih?” teriakku kaget sambil memuntahkan isi mulutku ke tangan. Ada sesuatu yang keras di dalam waffleku. Atau es krimku? Entahlah. Aku tidak terlalu memperhatikannya. Mataku sibuk melirik Karsa tadi.
Aku melihat kearah telapak tanganku yang berisi lelehan es krim dari mulutku. Aku ambil tissue dan buru-buru melap tanganku. Sempat kulirik Karsa. Anehnya dia tidak bereaksi sama sekali. Aku menggeleng bingung.
Dan keherananku, jadi tidak ada artinya saat aku menatap telapak tangan kananku yang sudah bersih dari lelehan es krim. Aku tertegun. Cincin? Sedetik kemudian otakku mulai bekerja. Ada cincin. Di dalam es krimku. Dan Karsa yang memesannya tadi. Aku langsung merasakan bahwa mukaku memerah. Deg-degan.Dengan takut-takut aku mengangkat mukaku, menatap lurus kearah Karsa yang masih diam di depanku. Dan Karsa tersenyum gugup.
“So?” aku diam. Bingung dengan pertanyaannya. Karsa rupanya mengerti kebingunganku.
“Ng.. aku sedang ngelamar kamu, Mir. Ng.. so?” Karsa bertanya gugup. Mukanya memerah. Lucu sekali. Ingin rasanya aku tertawa kalau nggak ingat bahwa suasana ini mestinya romantis. Ada rintik hujan diluar, si Joni yang sedang memainkan lagu Marry Me milik Train dengan piano, dan cincin lamaran yang disembunyikan di dalam es krim! Romantis kan?? Mestinyaaa… Kalau saja Karsa nggak menutupnya dengan satu kata. ‘SO?’ Emangnya itu kata-kata lamaran ya?? Aku hanya bisa tersenyum geli. Aku lupa. Karsa kan memang nggak romantis. Menyiapkan semua ini aja, aku yakin udah bikin dia pusing. Aku menatapnya lagi.
“Kamu ngelamar aku?” tanyaku pede. Entah kenapa, rasa kaget, malu dan gugupku hilang.
Karsa mengangguk. “Kamu mau? Hmmm… menikah dengan aku?”
“Kenapa?” tanyaku iseng. Aku menikmati sekali semburat kemerahan di pipinya yang putih itu.
“Ng.. kenapa? Yaaah.. kan kita pacaran. Udah lumayan lama. 2 tahun. Dan..aku..aku ngerasa nyaman sama kamu. Aku ingin..ngabisin sisa hidup aku sama kamu..” jelas Karsa. Cukup panjang.
“Dan? Kenapa kamu mau ngabisin hidup kamu sama aku?” tanyaku lagi. Keras kepala. Karsa masih belum menyebut 3 kata itu. Kali ini dia terdiam. Menatap wajahku lama sebelum akhirnya menarik nafas.
“Aku cinta kamu, Miranda… dari dulu, sejak pertama kali ketemu di kafe ini. Sampai detik ini. Rasa itu nggak berkurang sedikitpun. Dan aku tahu pasti, kamu juga begitu. Lagipula, aku udah bilang kan tadi, buat aku, hujan itu turun membawa rezeki. Dan aku yakin, rezeki aku hari ini adalah, berhasilnya aku mendapatkan calon istri.. Nah, sudah cukup penjelasan aku? Kamu udah puas ngerjain aku? Kalau udah, giliran kamu yang jawab sekarang…” Karsa tersenyum manis. Dan memperlihatkan lesung pipi yang sangat aku sukai di kedua pipinya.
Ok, aku ralat kata-kata aku, bahwa Karsa itu nggak romantis. Dia cukup romantis kok. Buktinya, saat aku menganggukkan kepalaku, Karsa langsung tersenyum lega, dan berlutut di hadapanku. Memasangkan cincin di jari manis kiriku dan mengecupnya perlahan. See?? Karsa itu romantis. Meski mungkin hanya saat hujan turun…. ^_^
-Masih dari sumber inspirasi yang sama, yang digabungkan dengan sedikit harapan yang sudah (terpaksa) dilupakan. For you, dear my one and only inspiration, if you ever read this-
1 comment:
wahhh
ceritanya seru juga ya :)
Post a Comment