Monday, December 26, 2011

Sebuah Rasa Dalam Kemasan Baru...

Aku jatuh cinta, pada cinta yang lalu menjatuhiku.
Aku merindu, pada rindu yang selalu merindukanku.
Mungkin itu yang kusebut bahagia.

Lalu... Keabadian menertawakanku.
Hanya ketidakabadian yang abadi, katanya.

Pada mata, aku bercermin dan melihat duka.
Pada bibir, aku tersenyum dalam kemirisan.
Pada lidah, aku bergetar penuh rasa nyeri.
Dan pada hati, aku berdoa dalam kepasrahan.

Terbanglah luka..
Sampai sayapmu lelah mengepak..
Sampai semesta mengijinkanmu berevolusi demi untuk bertahan hidup.
Lalu kembali, dalam kemasan baru..
Sebuah rasa yang tak lagi berteriak penuh kesakitan...

Friday, December 16, 2011

Saat Kehilangan..

Kamu ada, dalam daftar nomor telpon di handphone-ku, namamu yang teratas ~ lalu semua terhapus
Kamu ada, saat berkumpul bersama teman-teman, senyummu masih terlihat ~ lalu tiba waktunya untuk pulang
Kamu ada, dalam tulisan-tulisanku, sebagai sumber inspirasiku ~ lalu segala cerita harus terselesaikan
Kamu ada, dalam mimpiku, sebagai sosok yang tak tersentuh oleh nyata ~ lalu aku harus terbangun saat pagi
Kamu ada, lalu tiada...
Mungkin itu yang kusebut dengan kehilangan...

Monday, December 12, 2011

Tanpamu, (Bagaimana) Aku Akan Baik-Baik Saja?

Mia tertunduk lemas di depan tanah makam yang masih basah. Masih tercium wangi bunga-bunga yang di taburkan di atasnya. 

Delima Windardjati binti Ismail
10-10-1955  s/d  13-12-2011


Matanya yang bengkak sudah kering sejak menginjakkan kaki di pemakaman umum ini. Mungkin, seluruh persediaan air matanya telah habis akibat menangis sepanjang perjalanan dari New York kemarin.

Mia hanya duduk diam di atas tanah basah kecoklatan itu. Tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Ironis memang, bila mengingat yang terbaring dengan tenang di hadapannya adalah ibu yang sudah tidak pernah ditemuinya selama 15 tahun. Ibu yang meninggalkannya sejak ia berumur 13 tahun. 

"Miaaa..." pundaknya ditepuk oleh seseorang perlahan. Mia menoleh. Tante Ratna, sahabat baik ibunya sudah ikut jongkok di sampingnya. Tante Ratna hanya diam. Memandang lama ke arahnya lalu berpaling menatap gundukan tanah di depan mereka. 
"Ini, Mi..." Mia menatap kosong ke arah tangan Tante Ratna yang terulur di depannya sambil menggenggam secarik kertas lusuh.
"Ambil Mi... Baca. Nanti Tante akan jelaskan semuanya. Kenapa mamamu dulu akhirnya memilih untuk melepaskanmu..." 
Perlahan tangan Mia bergerak meraih keras itu. Dibukanya dan dibacanya perlahan. Dalam hati.

'Walau aku seandainya harus hidup tanpamu, aku akan baik-baik saja, mam......'

Tulisannya. 15 tahun yang lalu. Yang dituliskan di dalam buku hariannya sehari menjelang sidang akhir perceraian kedua orang tuanya. Sehari sebelum ibunya tiba-tiba berkata di pengadilan bahwa beliau melepaskan hak asuh atas dirinya. 

Mia menatap Tante Ratna dengan pucat. "Iya, Mia.. Delima membacanya. Dia selalu berpikir bahwa kamu benar-benar membencinya. Apalagi dia menemukan kertas itu sehari setelah pertengkaran hebat kalian. Delima tau pasti kamu sangat sayang sama ayahmu, Mia. Makanya Delima rela melepaskanmu.."

Mia tertunduk diam. Perlahan meresapi ucapan Tante Ratna. Ingatannya mulai pulih. Halaman diary yang hilang. Sikap ibunya yang berubah. Perhatian berlebihan sang ayah yang tiba-tiba.

"Tante...," ucap Mia dengan susah payah, "tulisan ini belum selesai. Masih ada kalimat berikutnya yang terhapus dari sini...." 

Tante Ratna menatapnya bingung.

'Walau aku seandainya harus hidup tanpamu, aku akan baik-baik saja, Mam. Karna aku akan selalu memiliki cinta darimu.  Tapi Mam, karna aku cinta, bagaimana mungkin aku mau hidup tanpamu?'

Mia yakin dulu ia menuliskannya seperti itu...


(Cerita ini terinspirasi dari seorang teman. Yakinlah, semua pasti akan baik-baik saja..)

Friday, December 02, 2011

Ajari Aku Mam...

Dear Mami,

Mam, kalo aku make kalimat “Aku saayaaaaaaang banget sama Mami” sebagai pembuka surat norak nggak? Hehehehe… Aku tau deh. Pasti Mami bakalan bilang aku gombal. Tapi ya Mam, aku juga tau pasti, di dalem hati, Mami pasti seneng dan terharu. Iya kan Mam? Ngaku deh. Hihihihihi..

Mam tau nggak, kemaren ini aku nemu sebuah sajak di twitter yang entah kenapa, menurut aku itu kata-katanya jleb banget.

“Bu, aku mencintainya. Setabah ibu, mencintai ayah.” -- @_ikik

Keren yah Mam sajaknya? Aku sukaaaa banget. Dan aku langsung teringat sama Mami. Iya, Mami. Orang yang menurut aku paling pantas dijadikan contoh, bagaimana sesungguhnya cara mencintai. 

Dulu Mami pernah bilang sama aku, sebelum kamu bisa mencintai orang lain, kamu mesti lebih dulu cinta sama diri kamu sendiri. Dan aku emang cinta sama diri aku sendiri. Tapi, terkadang aku melupakan kata-kata Mami, sampai aku jatuh cinta terlalu dalam dan nggak lagi sayang sama diri aku sendiri. Iya Mam, aku membiarkan diriku sendiri terluka terlalu banyak.

Seandainya aku masih kecil, mungkin Mami bakalan menghukum aku kali ya? Kayak dulu waktu aku kecil, Mami sering banget jewer aku saat aku nggak mau minum obat. 

Sayangnya aku udah besar. Meski ujung-ujungnya sama aja. Setiap kali aku terluka, selalu Mami yang jadi P3Knya. Penolong pertama buat aku. Mami hanya ada. Meluk aku. Dan Mam, efek pelukan Mami itulah obat paling ampuh buat aku. 

Ah, kenapa ya hidup ini harus penuh luka Mam? Kenapa hidup ini nggak bisa penuh dengan cinta aja? Hanya cinta. 

Aku terlalu cengeng ya Mam? Iya sih. Kalau aku pikir-pikir, segala ujian yang aku terima ini nggak ada apa-apanya dibanding dengan kisah perjalanan hidup Mami. Aku ini saksi hidupnya kan? Aku ngeliat dengan mata kepala aku sendiri dari kecil, gimana Mami berjuang untuk sebuah cinta. Sebuah keluarga.

Cinta kepada orang tua, cinta kepada suami, cinta kepada anak, dan cinta kepada sesama. Aku nggak tau, hati Mami sebesar apa sampai bisa memberikan cinta yang sedemikan banyaknya buat kita semua. Sampai Mami bisa setabah itu dalam menjalani hidup. Yang aku tau, pasti jawabannya adalah karna Mami punya cinta, termasuk cinta buat diri Mami sendiri dan keikhlasan. Karna Mami selalu punya cara untuk menghindar dari luka.

Ah Mam, aku ingin belajar mencintai yang seperti itu. Cinta yang selalu Mami kasih buat keluarga Mami, suami Mami, anak-anak Mami…

Karna aku sedang belajar Mam. Membangun keluarga seperti Mami dulu. Dan aku berharap, aku bisa menjalani semua ini dengan penuh cinta.

Aku nggak mau Mam, semua cinta yang Mami kasih ke aku dari kecil, aku sia-siakan dengan menyia-nyiakan kebahagiaan aku sendiri. Iya sih Mam, mana ada juga orang yang mau menderita. Makanya kita harus tetap cinta dan menghargai diri kita sendiri, gitu kan Mam?

Liat aku ya Mam. Bukan takabur atau sombong, tapi aku yakin aku pasti bisa bahagia. Karna aku tau aku punya Mami. Karena buat aku, selain Tuhan, nggak ada Mam, yang bisa ngalahin cinta Mami ke aku. 

Ajari aku ya Mam….

Sampai aku bisa berkoar dengan bangganya ke Mami, “Mam, aku mencintainya. Mencintai lelaki yang aku pilih. Mencintai keluarga yang sedang aku bangun ini. Mencintai kehidupan aku. Setabah Mami, mencintai kami semua”

Dan Mami, terima kasih, karna sudah melahirkan aku ke dunia penuh cinta ini.




Dengan penuh cinta,

Anakmu yang paling berbahagia



PS: Please Mam, jangan nangis. Aku tau Mami cengeng. Tapi surat ini surat yang penuh cinta dari aku. Jadi Mami harus senyum bacanya, oke? Hihihihi….


(Diikutsertakan dalam proyek charity #DearMama dari @NulisBuku)